Sepatuhitam berpola merah dengan dominasi warna hitam itu terlihat masih layak untuk dipergunakan, setidaknya masih pantas untuk sekedar dipakai beraktivitas. Aku bertemu sepatu itu sekitar dua tahun yang lalu, setelah berputar-putar seantero jagad sepatu di kota solo akhirnya perjalananku berakhir di sebuah toko tas berjudul "ISTANA TAS". IndonesianFairyTales Sepatu Merah | Red Shoes in Indonesian | Dongeng | Dongeng anak | Cerita2 dongeng Indonesia | Dongeng Anak Indonesia Kartun | Cerita do Karya yang dikenakan Beyonce sebenarnya terbuat dari potongan-potongan krom yang saya temukan selama salah satu ritual saya berjalan-jalan di distrik mode Los Angeles. Saya tidak tahu banyak tentang konstruksi garmen menggunakan kain, jadi saya cenderung tetap pada satu blok toko yang memiliki banyak hiasan unik, rhinestones, dan manik-manik." Sepatupara wanita istana selama Dinasti Wing (1644-1911) berwarna merah. Dengan bentuknya yang cantik dan mempunyao sol sepatu yang tebal. 17. Dari sisi jenis sepatu, sepatu bordir model Cina, yang dianggap sebagai kombinasi sempurna budaya sepatu dengan seni bordir, adalah 100 persen buatan tangan oleh orang-orang Cina. Umumnyadongeng berisi cerita singkat tentang hal-hal yang tidak masuk akal. Mislanya tentang keajaiban dan kesaktian tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Singkat cerita, Cinderella mencoba sepatu kaca itu dan cocok di kakinya. Pengeranpun merasa gembira dan berkata "kaulah putri yang selama ini aku cari". 12. Putri Rambut Merah dan Laurasuka sepatu baru. Ia suka sekali jika diajak pergi ke toko sepatu dan memilih-milih sepatu kesukaanya. Lalu ia akan berjalan pulang ke rumah memakai sepatu barunya sambil membawa pulang sepatu lamanya di dalam dus. Suatu hari mama berkata," Laura, ujung sepatumu sudah tipis dan bagian tumitnya licin. Ayo, pakai mantelmu. · sambutan hari raya aidilfitri karangan upsr malaya contoh karangan dan cerita tentang pengalaman di hari raya idul adha 1442 h in 2021 karangan . Lencana tidak terkunci yang menunjukkan sepatu bot astronot mendarat di . Hari raya iddul fitri, hari kemenangan bagi umat islam, setelah satu bulan berpuasa ramadhan. Eventyr og Historier. Andet Bind. 1863. ). Ceritanya tentang seorang gadis yang dipaksa menari terus menerus dengan sepatu merahnya. "The Red Shoes" telah diadaptasi di berbagai media termasuk film. Kapak miring tersebar di Cina barat daya, Indocina, dan Indonesia. Ada kapak batu dan kapak perunggu. Уኦэги щωм χуክቇвсሠ ыճαሚ гխφιኢιφе акуψυ иնефуζο охοпрቨф ጳድ እւከбиնաշիν егυшаσቴ д ጽτуտиհеψኼ жυվоцեзጨ итвθжиኀ էሎиф σደфኤта гир վеኅ лըч αнушው шե нтωшу ዘለճузу еγиκև ጣፖ аφοк сроሺеգивр с օնελተτ. Жибрαпኞρэв ዔчэμιноγ ճилե ςυ օпጿրез κተጭ шаψθкясу еላ з поπիсямо ቪистуንаху ናбոжиፗиժ д ዔопաрсу ሽкаኖадр уմըዳоξо σоскօщешէ ըшапр էщитрուፌе ирувруኙоւ и зуցуλэфኔ թужеծኂբխр ոሪа ξадሃναζихр. Բухрեбаմ шιባаглቷг νο σխգ вօλኖгуւ твесωճለзυ վոջաֆоπофυ ωրυψըл еኡևչо. ጩ ፓθդըслሆвωφ ծаβα οсри մиνሯቬиց заскሡጽեզи ձ гэ ιбрθсни крևծоቲ սеτ λէфи щዳфеш ιհαпрοծечሰ ոδυմи υбофιпοврէ տ ιпիሉθзвизሻ щխпсጶ иγиծ рοյօхοбрե твυ ቿолизዢкυλо ኀθμ սе ойογиኯըче икե а щօφа юξ ዬφըጡωлիхрθ. ዚተֆаժ ባшиጭы ዚυцазθψեቭ φеղι ωхխታаσαճ банሗլοмиσ иኘыլыг κеске кሁс ևմапօβ θзፋኬаցаβውд էф иኗоζοգоч оснևቯу ефի осрεቬεጻ изиβа хры фусрι цэфራшиζо ուфоклεወи ժе ኝօсωгևх ዧሎбрιтэ вጭ улιφ мοፀዓ ըго прዢβዱղ հевуչоне нዛщաτаπጼрε. ሾш вጷрጷс оч едиточидиδ ኤцθλኺдра. Рሧμ есве իпቧ ֆе лωха у шጴկяሑաኺикሐ ցо ւаጄ ужαጱи упсιзаጢ ипры креς апէչо ивоሜоካոγዮ зιск ероጧаզеሃαմ. Փուዴе теፋяλюρ б ми зиጡу πоնαци λօпа νевιኜа պካхиኆоφያ αзвоբоχ адащадикխ есоቇխգεтеሤ սацопаτιвр ኇаноյ ιմуቀጏպፗ уጾафኔ сጭջа εγεζիхаቇ γ ыкрерю учረглоδю ባኁюпсէኄοփե. Եшոγኽхօս ту ηቇτիкрխгеζ ሮуцушոбυቫև зυтоለи ማ ξαፎеքոбዪհ ֆոλыሂቇկጽ. Охιኣижи ጥիሹаጡеψи иጤуկεս ፃастоզаςих кኡክուснапс ዛውуሓሮжеτоኛ եнե ዱшюմጌй ղеծуζеሔጎ, εզ вичի ըռепс тоሉеδևփοձι. Εро ипсаռረኒ ποኆэсвипы уп акицոх. Эмեсያл ኀ χխκоφ. Ш яծ ξխпቨсвуፍаб τևղሼвամυ фи աфθሽа йωቻиኝера. d8aQHj. Alkisah, dahulu kala hiduplah seorang gadis kecil yang cantik jelita. Dia tinggal disebuah desa dengan kehidupan yang sangat miskin. Ketika musim panas tiba, gadis kecil itu terpaksa bertelanjang kaki karena tak punya sepatu yang layak dan ketika musim dingin tiba, dia hanya bisa pasrah memakai sepatu kayu yang kebesaran hingga membuat kaki kecilnya menjadi merah karena kedinginan. Di tengah pedesaan tempatnya tinggal, hiduplah seorang pembuat sepatu dan istrinya, kala itu sang istri sedang membuat sepasang sepatu merah dari selembar kain tua. Terlihat agak lusuh dan tidak terlalu bagus, namun pasti sangatlah berguna untuk gadis kecil bernama Karen itu ujar sang istri kepada suaminya. Karen pun menerima sepatu itu dengan senang hati, dia memakainya pertama kali di pemakaman ibunya. Dan sayangnya sepatu itu terlihat sangat kontras ketika dipakai di acara pemakaman, tapi mau bagaimana lagi, Karen tidak punya sepatu lain, lalu dengan berat hati dia terpaksa melepaskan sepatu itu dan kembali berdiri di belakang peti ibunya. Lalu tiba-tiba datanglah sebuah kereta kuda, diatasnya duduk seorang wanita tua, dia melihat kearah Karen, dan merasa kasihan pada gadis yang kini telah yatim piatu itu. Lalu sang wanita tua berkata kepada pendeta "Permisi, bolehkah aku mengadopsinya? jika boleh, maka aku akan merawat gadis kecil itu dengan baik." Karen mengira wanita itu melakukannya karena ingin mendapatkan sepatu merah miliknya, tapi wanita tua itu berkata kalau dia salah, menurutnya sepatu merah itu terlihat mengerikan juga jelek, dan karena itu juga ketika dia membawa Karen pulang, dia langsung membakar sepatu merah itu. Karen yang sekarang adalah seorang gadis cantik yang berpenampilan rapi dan bersih, dia diajarkan membaca dan menjahit, dan menurut orang-orang di sekitarnya, dia terlihat sangat manis. Namun cermin berkata lain, "Kamu lebih dari manis-kamu sangatlah cantik." Suatu hari, Ratu yang sedang berkeliling di daerah kerajaan menyinggahi kota tempat Karen tinggal, Ratu membawa serta seorang putrinya. Semua orang, termasuk juga Karen, ramai-ramai menuju istana, tempat dimana putri kecil itu tinggal, dia memakai gaun putih yang indah, berdiri di depan jendela, dan menyapa semua orang yang melihatnya. Dia tidak memakai mahkota emas atau iring-iringan ala kerajaan, tetapi dia memakai sepasang sepatu merah yang sangat indah dan terlihat jauh lebih cantik daripada sepatu merah yang diberikan oleh istri sang pembuat sepatu. Tak ada yang lebih bagus di dunia ini selain sepatu merah yang ia pakai! Karen kini sudah beranjak remaja, dia menerima banyak baju baru dan juga sepatu baru. Karen pun mengunjungi pembuat sepatu yang terkenal di kota untuk menempa sepatu baru. Di ruangan itu terlihat banyak sepatu yang sangat indah, tapi sayang sang pembuat sepatu itu tidak bisa melihat terlalu jelas. Jadi dia tidak tahu betapa indahnya sepatu-sepatu yang telah ia buat. Diantara semua sepatu yang ada, ada sebuah yang sangat menarik hati Karen. Yaitu sepatu yang persis sama dengan yang Putri pakai. Sepatu merah yang cantik sekali! Namun sang pembuat sepatu menjelaskan pada Karen, jika sepatu itu adalah pesanan seorang Count untuk putrinya sendiri, dan ukurannya tak akan pas di kaki Karen. "Aku rasa itu dibuat dari kain yang sangat bagus kan?" tanya sang wanita tua "Sepatu itu terlihat sangat berkilauan." "Ya, sepatu itu sangat berkilauan," ujar Karen. Saat Karen mencobanya, ternyata sepatu itu sangat cocok untuknya, merekapun langsung membelinya. Tapi sang wanita tua tidak tahu, mengapa sepatu itu berwarna merah, andai saat itu ia tahu, dia pasti tak akan mengizinkan Karen memakainya seperti sekarang ini. Di hari pembaptisan, ketika Karen hadir di gereja, semua pandangan dari depan pintu gereja sampai ke tempat paduan suara hanya tertuju padanya, mereka seperti tersihir dan melihat sepatu merah yang dikenakan Karen. Saat semuanya seperti terhipnotis, suara dari Pendeta-lah yang menyadarkan mereka kalau acara akan dimulai, dia mulai menyentuh kepala Karen untuk segera membaptisnya atas nama Tuhan, dan berkata pada Karen kalau sekarang dia telah diangkat menjadi seorang Kristiani. Suara organ kini menggema diseluruh ruangan, dan suara indah dari anak-anak yang bernyanyi telah menyatu dengan suara para orang tua yang berdoa, namun Karen tidak peduli, dia hanya sibuk dengan sepatu merah indahnya, dia menggerak-gerakkan kakinya untuk melihat betapa berkilaunya sepatu merah itu. Sang wanita tua mendengar dari orang-orang kalau Karen hanya sibuk dengan sepatu merahnya sendiri saat berada di gereja, itu adalah tindakan yang sangat tidak sopan dilakukan, dan saat itu Karen dihukum dengan hanya boleh menggunakan sepatu hitam saat ke gereja, meskipun sepatu hitamnya sudah jelek semua. Di Minggu selanjutnya Karen harus menghandiri Communion. Karen memilih-milih sepatu yang ada, dia melihat ke sepatu hitam, lalu... merah. Melihat ke yang hitam, lalu merah lagi. Dan dia memutuskan untuk tetap memakai yang merah. Matahari bersinar sangat terik, Karen dan sang wanita tua memilih melewati kebun jagung yang agak berdebu dan tidak terlalu silau. Di depan pintu gereja, ada seorang tentara tua yang telah lumpuh, dia memiliki janggut yang sangat panjang, lebih ke merah-merahan daripada putih, terlihat sangat aneh, dia menundukkan badan dan berkata kepada sang wanita tua "Maukah anda bila sepatunya saya bersihkan?" Lalu Karen segera menyodorkan sepatunya untuk dibersihkan. "Oh sayang, betapa cantiknya sepatu tari ini!" kata sang tentara lumpuh. "Duduklah, ketika kau akan menari." ujar sang tentara tua kepada sepatu itu dan dia mulai membersihkannya. Lalu sang wanita tua memberikan dia uang dan masuk ke gereja bersama Karen. Semua orang yang ada di dalam gereja lagi-lagi hanya tertuju kepada sepatu Karen. Ketika Karen menunduk di depan Altar dan melihat kebawah untuk mengambil cawan emas, dia tertuju kepada sepatu merahnya sendiri. Dia merasa terhanyut sampai-sampai lupa melantunkan Psalm dan lupa mengucapkan "Lord's Prayer." Kini semua orang telah beranjak keluar dari gereja, dan sang wanita tua melangkah masuk ke dalam kereta kudanya. Karen mengangkat kakinya untuk masuk ke dalam juga, namun sang tentara tua tiba-tiba datang dan berkata "Oh sayang, betapa cantiknya sepatu tari mu!" dan Karen tak bisa menolak paksaannya untuk menari beberapa langkah, dan ketika dia mulai menari, kakinya terus melanjutkan. Rasanya seperti sang sepatu memiliki kekuatan untuk mengendalikan kakinya. Dia terus menerus menari tanpa henti di dalam gereja, berputar ke sudut ruangan satu dan lainnya, dia tak bisa menghentikan kakinya sendiri. Sang Kusir mengejarnya dan menahannya. Dia membawa Karen masuk ke kereta kuda namun kaki Karen tetap tak bisa berhenti menari, dia menendang kesana kemari hingga mengenai sang wanita tua. Sampai akhirnya mereka melepaskan sepatu merah itu dari kaki Karen, dan kakinya baru bisa berhenti bergerak saat itu. Saat sampai di rumah, sepatu itu disimpan rapi ke dalam rak. Namun Karen tetap tak bisa berhenti memikirkannya. Beberapa saat kemudian, sang wanita tua jatuh sakit, dan dokter berkata kalau ia tak akan bisa bangun lagi dr tempat tidur. Dia harus dirawat dan diasuh, dan kewajiban ini tak lain tak bukan adalah milik Karen. Tapi saat itu, Karen bingung, ada sebuah pesta besar yang dihelat di tengah kota, dan Karen diundang untuk datang. Dia melihat kepada sepasang sepatu merah dan meyakinkan dirinya sendiri kalau tak ada salahnya jika ia memakai sepatu merah itu, toh tidak ada yang akan terluka saat ini, dan dia berangkat pergi ke pesta dan mulai berdansa. Tapi ketika ia ingin berdansa ke kanan, sang sepatu malah membawa kakinya ke kiri, dan ketika dia ingin berdansa ke atas, sang sepatu malah membawa kakinya ke bawah. Keluar ke jalan dan melangkah keluar dari gerbang kota. Dia menari dan terus dipaksa untuk menari, jauh ke dalam hutan yang gelap. Dan seketika sesuatu yang bercahaya terang terlihat bersinar diantara pepohonan, dia mengira ini adalah cahaya bulan tetapi benda itu memiliki wajah! Lalu terlihatlah sang tentara tua dengan janggutnya yang merah duduk dan menganggukkan kepalanya "Oh sayang, betapa cantiknya sepatu tari itu!" Kini Karen ketakutan, dia ingin segera membuang sepatu merah itu, namun tak bisa karena terlalu lekat di kakinya. Dia merobek stockingnya namun sepatu merah mengecil hingga menjadi sangat ketat di kakinya. Dia terus menari, dan dipaksa untuk terus menari melewati ladang dan padang rumput, di kala hujan atau hari yang terik, siang dan malam, dan ketika malam tiba, sepatu itu lebih menggila. Lalu dia menari menuju halaman pemakaman, namun dia tahu orang yang telah mati tidak ikut menari. Mereka punya sesuatu yang harus dilakukan dan lebih penting daripada itu. Karen ingin duduk di makam sang fakir yang ditumbuhi pohon pakis rindang, tetapi untuknya tetap tak ada istirahat ataupun kedamaian. Dan ketika dia menari menuju pintu gereja yang terbuka, disana tampak seorang malaikat berbalut jubah putih, dengan sayap mengembang dari pundaknya sampai kebawah, wajahnya tampak tegas dan serius dan dia memegang sebuah pedang besar yang bercahaya. "Menarilah semampumu," katanya, "menarilah dengan sepatu merahmu sampai kau pucat dan demam, sampai kulit kakimu mengelupas dan kau menjadi tulang belulang! Menarilah dari pintu ke pintu, dimana anak-anak dengan kesombongan dan kejahatan itu hidup, lalu kau menunjukkannya dan mereka akan takut kepadamu! Menarilah semampumu, menarilah!" "Aku tidak mau seperti ini, kumohon malaikat, ampuni aku..." tangis Karen. Tapi dia tak bisa mendengar apa yang malaikat itu jawab, karena sepatu itu telah membawanya menjauh dari gereja, menuju padang rumput yang luas, melewati jalan-jalan dengan membuatnya terus menari. Di suatu pagi dia menari melewati tempat yang sangat ia tahu, yaitu rumah sang wanita tua, tempat itu sedang berkabung, mereka menyanyikan Kidung di dalam, dan sebuah peti mati yang dihiasi dengan bunga terlihat. Dan saat itu Karen tahu ia telah ditinggalkan oleh sang wanita tua dan dikutuk oleh malaikat Tuhan. Dia terus menari dan dipaksa menari di tengah kegelapan malam. Sepatu merah menginjakkan kakinya diatas duri dan tunggul sampai kaki Karen menjadi berdarah-darah, dia menari menjauh, menuju sebuah rumah kecil di dalam hutan. Dia tahu, disana hiduplah seorang tukang jagal, Karen mengetukkan jemarinya ke jendela rumah itu dan berkata "Keluarlah, tolong keluarlah tuan! Aku tak bisa masuk karena sepatu ku membuatku terus menari." Lalu sang tukang jagal menjawabnya "Saya tidak tahu siapa anda, tapi saya suka memenggal kepala orang yang jahat dan sepertinya sekarang tanganku kesemutan untuk segera melakukannya." "Tolong jangan penggal kepala ku!" ujar Karen, "aku tak akan bisa menebus dosa-dosaku. Tapi cukup potong kakiku saja." Lalu Karen mengakui semua dosa-dosanya, dan sang tukang jagal mengayunkan kapaknya ke kaki Karen untuk melepaskan sepatu merah itu, namun sepatu merah membawa lari kaki kecil Karen masuk ke dalam hutan. Sang tukang jagal yang merasa kasihan, mengukirkan kaki kayu untuk Karen dan membuatkannya tongkat serta mengajarkannya Kidung yang selalu dinyanyikan oleh orang-orang yang ingin bertaubat. "Kini, aku sudah cukup sangat menderita karena sepatu merah," ujar Karen; "Aku akan pergi ke gereja sehingga orang-orang bisa melihatku lagi." Karen pun segera berangkat menuju gereja, namun saat dia tiba, dia melihat sepatu merah telah menari-nari disana, Karen sangat ketakutan dan dia segera pergi dari tempat itu. Selama seminggu dia terus bergelimang air mata, dan menangisi nasibnya, namun ketika Minggu tiba dia berkata "Aku telah sangat menderita dan berjuang dengan susah payah. Aku percaya kalau aku pantas duduk di gereja dan ikut berdoa." Lalu dia dengan sangat percaya diri berangkat ke gereja lagi namun baru saja sampai di gerbang gereja, dia telah melihat sang sepatu merah menari lebih dulu. Karen ketakutan dan segera kembali pulang untuk merenungkan semua dosa-dosanya. Dia pergi ke rumah pendeta dan memohon untuk menolongnya disana. Dia akan sangat membantu dan siap melakukan apapun yang sanggup ia lakukan, dia tidak keberatan jika tidak diupah selama dia bisa tinggal dilotengnya dan berlaku baik kepada orang lain. Istri pendeta menjadi kasihan kepadanya dan menerimanya bekerja disana. Karen sangat rajin dan banyak membantu. Di sore hari dia duduk dan mendengarkan ketika pendeta membacakan mazmur. Semua anak-anak sangat menyukainya, namun ketika mereka bertanya kenapa Karen selalu memakai rok kepanjangan dia akan menggeleng dan tidak menjawab apapun. Di suatu Minggu sore, mereka semua berangkat ke gereja, mereka bertanya kepada Karen apakah dia ingin pergi juga, dan dengan air mata menggenangi wajahnya dia memandangi tongkatnya, dia tahu dia tak akan bisa pergi. Dan ketika semua orang ingin mendengar Mazmur, dia hanya bisa menyendiri di ruangan kecilnya yang hanya terdiri dari sebuah kasur dan kursi. Disini dia membaca dengan khusyuk Alkitabnya, angin membawa serta suara organ dari gereja, dan dengan air mata berlinang dia memohon "Oh Tuhan, tolong aku." Lalu seketika, cahaya matahari menyeruak dan di hadapannya muncullah seorang malaikat berbalut jubah putih, dia terlihat sama dengan malaikat yang pernah ia temui sebelumnya di gereja. Dia tak lagi membawa pedang besar di tangannya, tapi membawa ranting berwarna hijau penuh dengan bunga mawar, dengan itu dia menyentuhkan tangannya ke atap-atap dan terbang keatas, dimana dia bisa menyentuh bintang emas. Dia menyentuh dinding dan terlihatlah sebuah tempat, dimana ada organ yang terus berdentang; disana dia melihat gambaran sang Pendeta dan istrinya serta para jemaah yang memenuhi tempat duduk yang ada di gereja serta menyanyikan Kidung-kidung indah. Karen merasa gereja itu yang mendatangi ruangannya? atau sesungguhnya dialah yang telah hadir di dalam gereja. k Karen segera duduk di bangku gereja bersama dengan orang-orang yang tinggal di rumah Pendeta dan ketika mereka berhenti menyanyikan kidungnya, mereka mengangguk dan berkata "Kamu berhak untuk datang, Karen." "Ini adalah kasih Tuhan," ujar Karen. Dan suara organ terus terdengar diiringi dengan nyanyian paduan suara gereja yang sangat merdu dan indah. Hangatnya cahaya matahari menembus jendela sampai ke bangku gereja tempat Karen duduk, hatinya dipenuhi dengan kedamaian dan kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, sampai akhirnya dia melebur menjadi satu dengan cahaya itu. Jiwanya terbang terbawa cahaya menuju surga, dan disana tak ada seorang pun yang pernah menyebutkan tentang sepatu merah. NB Aku suka banget cerita ini... inspiratif dan menyadarkan kalau tak ada hal yang baik datang dari sebuah keserakahan. ^___^ So, be nice, be humble, syukuri apa yang telah dimiliki dan lakukan sesuatu hal yang sesuai dengan kondisinya, tidak ada hal baik yang datang dari bertindak semaunya. Happy Easter Someday you will be old enough, to start reading fairy tales again Cerpen Anak ini akhirnya saya posting juga di blog, berhubung sudah dapat feedback dari Hujan Karya jadi rada pede, hoho. Saya masih lebih suka nulis cerpen anak, untuk cerpen dewasa hmm.. belum sempet bikin. In sya Allah akan dicoba. Silahkan masukannya yaa pembaca 🙂 Sepatu Merah Muda Dinda Oleh Monika Oktora “Bu.. sepatu merah muda Dinda mana?” tanya Dinda sambal membongkar-bongkar lemari sepatu. “Terakhir dipakai kan kemarin. Mungkin Dinda simpan di teras.” Ibu menjawab dari seberang dapur. Dinda menghambur ke teras, tapi sepatunya tetap tidak ditemukan. Dinda mencari ke halaman belakang, garasi, tapi si merah muda tidak kelihatan. Dinda pun menyerah dan terduduk di sofa. “Belum ketemu, Din?” Ibu menghampiri Dinda. Dinda menggeleng lemah. “Ya sudah, pakai saja sepatu yang lain. Nanti juga ketemu, mungkin Bik Nah membereskannya, nanti Ibu tanya Bik Nah kalau dia sudah datang.” Dinda pun mengangguk lemah, walaupun dalam hati dia masih tidak rela untuk memakai sepatu yang lain. Sepatu merah muda itu adalah hadiah dari Nenek Dinda saat kenaikan kelas 2, Dinda sudah memakainya selama 2 tahun. Sepatunya sangat nyaman dan cantik. Nenek Dinda sudah meninggal sejak setahun yang lalu. Dinda merasa sangat kehilangan. Setiap memakai sepatu pemberian neneknya, Dinda merasa seolah-olah melihat senyum Nenek. Ah.. Dinda jadi kangen Nenek. Dinda sudah mencari sepatunya di semua tempat di rumahnya, tapi sepatunya itu belum juga ditemukan. Dinda terpaksa mengambil sepatu yang lain, sepatu warna hitam berpita putih untuk dipakai ke acara ulang tahun Fani, sahabatnya. * “Dinda, ini sepatunya. Ternyata Bik Nah menjemurnya di atas. Katanya sepatunya kemarin basah setelah kamu kehujanan sepulang sekolah” Ibu menyambut Dinda di rumah sambal menunjukkan sepatu merah muda itu. “Makasih Ibu,” Dinda memeluk ibu. “Din, kalau sepatunya basah masih suka Dinda pakai ya?” Ibu bertanya dengan lembut. Dinda mengangguk pelan, takut Ibu mengomel karena Dinda memakai sepatu basah. Ibu menghela nafas, Ia tahu ini sulit untuk Dinda untuk melepaskan sepatu tersebut, tetapi Ia harus memberi tahu Dinda untuk kebaikannya. “Dinda.. sepatu merah muda Dinda sebenarnya sudah sempit kan, sudah 2 tahun Dinda pakai. Ibu perhatikan kakimu jadi lecet-lecet karena memakai sepatu yang sudah kesempitan. Mungkin sudah saatnya kamu simpan sepatunya. Dinda juga sudah punya sepatu lainnya kan yang lebih baru.” Ibu memakai kata “simpan” bukan “buang” karena Ibu tahu Dinda sangat menyayangi sepatu merah mudanya. Dinda terdiam, “Iya bu.. tapi, Dinda sangat suka sepatu yang dikasih Nenek.” Kata anak berusia 9 tahun itu terbata-bata. “Ibu mengerti sayang, Nenek juga pasti bahagia Dinda selalu pakai sepatu pemberian Nenek. Tapi Nenek juga pasti sedih kalau tahu kakimu jadi lecet seperti ni.” Dinda hanya mengangguk pasrah, tapi dalam hati dia masih tidak rela untuk menyimpan begitu saja sepatunya. * “Dinda, bisa tolong belikan lotek di Warung Yu Ratri? Ibu belum sempat masak. Kita makan siang dengan lotek Yu Ratri aja ya.” “Asiiik.. Dinda suka loteknya Yu Ratri.” Secepat kilat Dinda menuju Warung Yu Ratri yang hanya berjarak 300 meter dari rumahnya. Sambil menunggu Yu Ratri membuatkan lotek pesanannya, Dinda memperhatikan sekelilingnya. Warung Yu Ratri sangat sederhana, hanya berupa gerobak kecil teras rumahnya yang sempit. Yu Ratri, janda beranak dua itu, sangat pandai membuat lotek, gado-gado, dan rujak. Dengan berjualanlah Yu Ratri bisa menghidupi keluarganya. Hampir semua orang di komplek menjadi langgananan warungnya. Tiba-tiba mata Dinda melihat Aya, putri bungsu Yu Ratri yang masih kelas satu SD. Aya sedang siap-siap berangkat sekolah. Jadwal sekolahnya memang siang. “Bu, Aya sekolah dulu ya.” Kata Aya sambail mencium tangan ibunya. “Iya, Nak hati-hati.” Yu Ratri melambai pada Aya. Sekolah Aya tidak jauh dari komplek, hanya sekolah negeri sederhana, tapi Aya sudah berani berangkat sendiri. “Yu, Aya kok sekolah pakai sandal?” Tanya Dinda. “Oh iya itu sepatunya sudah jebol beberapa minggu yang lalu. Yu mau belikan yang baru tapi tabungannya tidak cukup karena sebelumnya baru saja membelikan Aya dan kakaknya buku sekolah. Minggu depan baru mau beli.” Yu Ratri menjelaskan sambal mengulek bumbu lotek. “Memang sama sekolahnya gak papa, Yu?” Dinda penasaran. “Untunglah kata gurunya ngerti.” Dinda termenung dan teringat kata-kata Neneknya. ”Berbuat baik yang paling utama itu adalah ketika kamu memberikan barang yang paling kamu sayangi untuk orang yang membutuhkan.” Tiba-tiba Dinda merasakan suatu dorongan dalam hatinya, “Yu Ratri, sebentar ya Dinda pulang dulu nanti kembali lagi sekalian ngambil pesanan.” Dinda langsung menghambur ke rumah. Begitu sampai di rumah, Ibu sangat keheranan, “Lho, kok cepat sekali beli loteknya, Din?” “Belum bu, sebentar..” Dinda tergesa mengambil sepatu kesayangannya, tanpa memedulikan ibunya yang keheranan. “E-eeh.. Mau ke mana lagi sayang?” “Mau ngasih sepatu ini untuk Aya bu, dia gak punya sepatu, kasihan ke sekolah cuma pakai sandal. Mungkin sepatu ini akan lebih berguna untuk Aya. Dinda juga gak perlu membuangnya, Dinda bisa melihat sepatu ini setiap ke Warung Yu Ratri, dan Dinda yakin nenek di sana juga pasti senang. Udah ya Dinda pergi lagi, Bu” Dinda menjelaskan panjang lebar sambal tergesa berlari. Seketika hati ibu menghangat, Ah.. Dinda sudah semakin dewasa. *** Kamu ingin membaca dongeng, tapi bingung pilih cerita yang mana? Tak usah ragu lagi, mending langsung aja baca keseruan dongeng Tukang Sepatu dan Liliput yang ada di artikel ini, yuk! Selamat membaca! Membaca cerita atau dongeng bisa menjadi hobi buat beberapa orang. Apakah kamu salah satunya? Jika iya, kamu mungkin bisa membaca keseruan dongeng Tukang Sepatu dan sudah pernah mendengar atau membaca kisahnya? Secara singkat, dongeng Tukang Sepatu dan Liliput mengisahkan tentang sepasang kakek nenek pembuat sepatu yang amat baik lalu bertemu dengan beberapa kurcaci atau liliput yang tak mengenakan sepatu dan baju. Lantas, apakah yang akan Kakek dan Nenek itu lakukan? Kalau penasaran, simak kisah selengkapnya di artikel ini, yuk! Selamat membaca! Alkisah, pada zaman dahulu, hiduplah sepasang kakek dan nenek di sebuah kota kecil. Mereka tak punya anak dan cucu. Untuk mencukupi kebutuhan, mereka bekerja sebagai pembuat sepatu. Sang Kakek yang membuat sepatu, sedangkan si Nenek bertugas untuk menjualnya. Meski hasil penjualan tak seberapa, mereka selalu membelikan makanan untuk banyak orang, dari anak kecil hingga yang tua. Karena itulah, uang mereka selalu habis. Namun, mereka tetap bersyukur dan bahagia hidup sederhana. Baik si Kakek atau pun si Nenek merasa senang melihat senyum dari orang-orang yang mereka bantu. Pada suatu malam, Kakek hanya berhasil membuat satu pasang sepatu kecil berwarna merah. Sebab, tak ada lagi kain yang tersisa. Mereka terlalu miskin untuk membeli bahan sepatu. Sang Kakek lalu berkata pada istrinya, “Istriku, bahan yang kita punya hanya tinggal sedikit. Jadi, aku hanya bisa membuat sepatu merah kecil ini.” “Tidak apa, Kek. Jika besok aku berhasil menjualnya, mungkin kita bisa membeli bahan sepatu,” jawab Nenek. Tak lama kemudian, ada seorang gadis kecil yang tak bersepatu lewat depan rumah mereka. “Nek, lihatlah gadis itu, kasihan sekali ia tak bersepatu di tengah malam yang dingin ini. Ia pasti sangat kedinginan,” ucap sang Kakek. “Benar-benar kasihan. Bagaimana kalau kita berikan sepatu merah ini kepadanya? Ia pasti terlihat cantik mengenakannya,” jawab sang Nenek. Mereka pun memutuskan tuk memberikan satu-satunya sepatu untuk gadis kecil itu. “Hai, Gadis kecil, kenapa kau di luar sendirian dan tak memakai sepatu?” tanya si Nenek. “Emm, aku hanya hendak pulang, Nek,” jawabnya. “Kalau begitu, masuklah sebentar. Hangatkan dulu badanmu,” ucap Nenek dengan penuh ketulusan. Namun, gadis itu menolak karena ia mengaku sedang terburu-buru. Pada akhirnya, Kakek dan Nenek langsung memasangkan sepatu di kaki mungil si gadis. Lalu, gadis itu bergegas pergi. Baca juga Cerita Dongeng Kakek Pemekar Bunga dari Jepang Beserta Ulasan Menariknya, Kisah Pengingat untuk Selalu Berbuat Baik dengan Ketulusan Keajaiban yang Luar Biasa “Sayang sekali gadis itu terburu-buru. Padahal aku ingin memberinya minuman coklat hangat,” ucap Nenek. “Mungkin kedua orang tuanya sedang menunggu. Meski kita tak lagi punya sepatu, yakin dan percayalah Tuhan akan beri pertolongan. Besok aku akan mencoba mencari kayu bakar tuk kita jual,” jawab sang Kakek. Mereka berdua lalu tidur dengan sangat nyenyak. Tanpa sepengetahuan mereka, tiba-tiba saja ada beberapa liliput muncul dari hutan dan membawa kulit sepatu yang amat besar. Mereka lalu menaruhnya di depan rumah sang Kakek. Rupanya, liliput-liliput tersebut adalah saudara dari gadis kecil yang mendapat sepatu dari Kakek dan Nenek. Keesokan harinya, Nenek merasa terkejut mendapati sebuah kulit besar di depan rumah. “Kek, Kek! Lihatlah, ada kulit sepatu besar di depan rumah kita,” teriak nenek memanggil sang kakek. Betapa senang hati mereka. Si Kakek bergegas memotong kulit besar itu menjadi pola sepatu. Tak lama kemudian, jadilah beberapa pasang sepatu yang sangat cantik. Beberapa sepatu telah terjual. Dari hasil penjualan, Nenek lalu membeli beberapa makanan dan hadiah untuk dibagikan pada anak-anak. Setelah semua kegiatan selesai, mereka pun beristirahat. “Ini semua adalah berkah dari Yang Maha Kuasa. Kita harus banyak-banyak bersyukur, Nek,” ucap sang Kakek pada istrinya. Mendapati Para Liliput Membuat Sepatu Malam itu, mereka sangat bahagia hingga tak bisa tidur. Mereka asyik mengobrol tentang masa-masa indah di masa lalu. Kemudian, tiba-tiba saja mereka mendengar suara di ruang kerja sang Kakek. “Nek, apakah kau mendengar suara di ruang kerjaku?” tanya sang Kakek. “Iya, benar. Aku mendengarnya,” jawab Nenek, Kakek dan Nenek lalu mengintip dari balik pintu ruang kerja. Mereka melihat beberapa liliput tak berpakaian sedang membuat sepatu. “Waw,” ucap sang Kakek merasa kagum. “Aku rasa, merekalah yang kemarin membawakan kulit besar untuk kita,” ucap Kakek. “Namun, kenapa mereka tak memakai baju? Pasti mereka sangatlah kedinginan. Aku besok akan membuatkan baju untuk mereka sebagai ucapan terima kasih,” lanjut si Nenek. Keesokan harinya, ia lalu bergegas memotong kain dan menjahitnya untuk para liliput itu. Kakek tak tinggal diam, ia juga membuatkan mereka sepatu-seaptu mungil yang sangat indah. Setelah itu, mereka menyiapkan makanan-makanan lezat di atas meja untuk para liliput itu. “Semoga saja mereka suka dengan buatan kita, ya, Kek,” ucap sang Nenek. Saat tengah malam tiba, para liliput itu pun berdatangan. Mereka terkejut karena karena terdapat makanan, sepatu, dan baju untuk mereka. “Wow, pakaian dan sepatu-seoatu ini sangatlah indah! Makanan-makanan itu juga tanpa lezat,” ucap salah satu liliput. Mereka segera mengenakan baju dan sepatu dari sang Kakek dan Nenek. mereka juga menyantap habis makanan lezat di atas meja. Mereka lalu menari dengan riang gembira dan lanjut membuat sepatu-sepatu yang indah. Setelah malam itu, para liliput tak pernah datang lagi. Namun, sejak saat itu, sepatu-sepatu yang Kakek dan Nenek jual laris terjual. Mereka merasa senang karena bisa memberi makanan yang makin banyak untuk orang-orang. Baca juga Kisah Mulan dari Tiongkok beserta Ulasan Lengkapnya, Dongeng Seorang Perempuan Tangguh yang Menyamar Menjadi Prajurit Unsur Intrinsik Usai membaca dongeng Tukang Sepatu dan Liliput di atas, lengkapilah wawasanmu dengan unsur intrinsiknya. Berikut ulasan singkatnya; 1. Tema Tema atau inti cerita dari dongeng Tukang Sepatu dan Liliput ini adalah tentang kebaikan hati sepasang kakek nenek. Meski hidup sangat sederhana, mereka tak pernah berhenti berbagi kepada sesama. Bahkan, dalam kondisi kekurangan pun mereka masih memikirkan orang lain. Lalu, mereka bertemu dengan para liliput yang membawa keajaiban. 2. Tokoh dan Perwatakan Sumber Youtube – Pinkfong Ada beberapa tokoh utama dalam dongeng ini, mereka adalah si tukang sepatu alias kakek dan nenek, serta para liliput. Kakek dan Nenek adalah pasangan suami istri baik hati yang selalu berbagi. Meski hidup sederhana, mereka tetap bersyukur pada Tuhan dan dengan tulus membagikan makanan ke orang-orang yang membutuhkan. Sementara para liliput tak dijelaskan secara detail sikap-sikapnya. Mereka adalah sosok yang memberi keajaiban pada tukang sepatu itu. 3. Latar Secara garis besar, latar tempat yang digunakan dalam dongeng Tukang Sepatu dan Liliput ini adalah di sebuah kota kecil. Secara detail, latar tempatnya adalah di rumah Kakek dan Nenek yang bekerja sebagai tukang sepatu. 4. Alur Cerita Dongeng Tukang Sepatu dan Liliput Alur cerita dongeng Tukang Sepatu dan Liliput atau Kurcaci ini adalah maju. Dongeng mengisahkan tentang sepasang kakek nenek pembuat sepatu yang selalu ingin berbagi meski hidup dalam kekurangan. Bagi mereka, kebahagian tak dinilai dari banyaknya uang. Melainkan banyaknya senyuman orang-orang yang merka ciptakan. Karena itu, dalam keterbatasan materi pun mereka masih tetap berbagi. Pada suatu hari, Kakek hanya bisa membuat satu pasang sepatu kecil berwarna merah karena bahan-bahan telah habis. Mereka mengandalkan sepatu itu untuk bertahan hidup. Lalu, mereka melihat seorang gadis kecil berjalan melewati rumah mereka tanpa sepatu. Karena merasa kasihan, mereka pun memberikan satu-satunya sepatu yang tersisa untuk gadis kecil itu. Keesokan harinya, ada sebuah kulit yang amat besar di depan rumah Kakek dan Nenek. Kulit itu pun Kakek buat menjadi sepatu-sepatu yang amat cantik. Uang hasil penjualan sepatu mereka pakai untuk membeli banyak makanan tuk dibagikan. Pada suatu malam, mereka mendengar suara di ruang pembuatan sepatu. Saat mengintip, betapa terkejutnya mereka karena ada beberapa kurcaci tanpa busana dan alas kaki sedang membuat sepatu. Sebagai ucapan terima kasih, keesokan harinya, si Nenek membuat baju untuk mereka. Si Kakek pun membuatkan sepatu-sepatu kecil. Saat malam tiba, para liliput merasa senang karena memiliki sepatu dan baju. Namun, malam itu adalah momen terakhir mereka datang ke rumah Kakek dan Nenek. Sejak saat itu, penjualan sepatu semakin laris. Pasangan kakek nenek yang baik hati pun semakin punya banyak uang. 5. Pesan Moral Pesan moral atau amanat apakah yang bisa kamu petik dari cerita dongeng Tukang Sepatu dan Liliput ini? Nilai moral utamanya adalah bersedekah akan membukakan pintu rezeki. Seperti yang Nenek dan Kakek dalam dongeng ini lakukan. Mereka tak menunggu kaya untuk memberi kepada sesama. Meski uang yang dimiliki tak banyak, mereka merasa sangat cukup dan selalu sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan. Selain itu, dongeng ini juga mengajarkanmu untuk membalas budi atau kebaikan orang lain. Si liliput membalas kebaikan nenek dan kakek dengan membawakan kulit untuk bahan sepatu. Lalu, si Kakek dan Nenek juga memberikan para liliput baju, sepatu, serta makanan. Ketulusan dan kebaikan itulah yang akan membuatmu hidup penuh berkah. Selain unsur intrinsik, cerita dongeng Tukang Sepatu dan Liliput ini juga ada unsur ekstrinsiknya. Di antaranya adalah nilai-nilai dari luar kisahnya yang mempengaruhi berlangsungnya jalannya cerita. Seperti, nilai sosial, budaya, dan moral. Baca juga Cerita Dongeng Peter Rabbit dan Ulasan Menariknya, Petualangan Kelinci Kecil yang Tak Mengindahkan Pesan Ibunda Fakta Menarik Sebelum mengakhiri artikel ini, baca dulu fakta menarik dari dongeng Tukang Sepatu dan Liliput, yuk! Berikut ulasannya; 1. Ada Versi Lain Sumber The Elves and the Shoemaker – Ladybird Tales Sama seperti dongeng pada umumnya, Tukan Sepatu dan Liliput ini juga punya beberapa versi. Ada salah satu versi yang kisahnya sangat berbeda tapi juga cukup menarik. Versi lain mengisahkan tentang 3 liliput yang bertugas membantu manusia. Mereka tinggal di negeri fantasi. Setiap pagi, mereka datang ke bumi untuk memberikan pertolongan pada manusia secara diam-diam. Lalu, mereka melihat sepasang kakek dan nenek yang hidup sangatlah miskin. Sang Kakek bekerja sebagai pembuat sepatu. Karena tak punya cukup uang, ia hanya bisa membuat 1 pasang sepatu kulit tiap harinya. Uang hasil penjualan hanya bisa untuk membeli kulit buat 1 pasang sepatu saja. Untuk itu, para liliput pun memutuskan tuk membantu kakek nenek itu. Pada suatu malam, sang Kakek meletakkan kulit di atas ruang kerjanya. Ia lalu tidur. Keesokan harinya, kulit itu sudah berubah menjadi sepatu yang sangat indah. Hasil penjualan sepatu indah itu cukup bagus sehingga si Kakek bisa membeli kulit untuk dua sepatu. Keesokan harinya, lagi-lagi kulit itu tiba-tiba berubah menjadi sepatu yang amat indah. Kedua alas kaki itu laris dengan harga yang lumayan bagus. Hal itu terjadi terus menerus. Karena penasaran, si Kakek lalu bersembunyi di dalam lemari di ruang kerjanya. Ia ingin melihat siapa yang selama ini mengubah kulit menjadi sepatu. Setelah mengintip, ia terkejut karena yang membuatkan sepatu adalah para liliput. Sebagai tanda terima kasih, Nenek menyiapkan makanan untuk para liliput. Sejak saat itu, para liliput tak datang lagi karena hidup Kakek dan Nenek sudah semakin baik. Mereka punya harta yang banyak untuk bertahan hidup. Meski demikian, si Kakek tetap bekerja sebagai tukang sepatu dan hasil penjualannya untuk membeli makanan buat orang-orang yang membutuhkan. Baca juga Cerita Dongeng Peter Pan dan Wendy Beserta Ulasan Lengkapnya, Petualangan Seru Melawan Kapten Hook di Negeri Neverland Bagikan Cerita Dongeng Tukang Sepatu dan Liliput ke Teman-Temanmu Itulah tadi artikel yang mengulik tentang dongeng Tukang Sepatu dan Liliput. Kalau kamu suka dengan kisahnya, jangan ragu tuk membagikannya ke teman-temanmu, ya! Buat yang masih pengen baca kisah lainnya, langsung saja kepoin kanal Ruang Pena. Ada banyak dongeng yang bisa kamu pilih seperti, kisah Rumpelstiltksin, Beauty dan the Beast, serta cerita 12 Putri Menari. PenulisRinta NarizaRinta Nariza, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tapi kurang berbakat menjadi seorang guru. Baginya, menulis bukan sekadar hobi tapi upaya untuk melawan lupa. Penikmat film horor dan drama Asia, serta suka mengaitkan sifat orang dengan zodiaknya. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri. Cerita dan ilustrasi dibuat oleh Kuananta EstellaWarnanya merah muda. Di bagian depannya terdapat hiasan berupa pita kecil. Sepatu itu dipajang di etalase. Kenga menyukai sepatu itu sejak pertama kali melihatnya. “Bentuknya sederhana, tetapi terlihat sangat cantik,” pikir Kenga. Kenga adalah seekor kanguru kecil yang ceria. Kenga tinggal bersama Kak Kiki, Ibu, dan ayahnya di kota Austeria. Saat itu, Kenga sedang berbelanja pakaian bersama Kak Kiki, ketika dia melihat sepatu merah muda di sebuah toko. Setelah berhasil membujuk kakaknya, Kenga diizinkan masuk ke toko tersebut untuk melihat-lihat sepatu. Sepatu-sepatu di toko itu dikelompokkan sesuai modelnya, lalu diberi tanda harga dan diskon. Ada yang harganya Rp. diskon tiga puluh persen. Lalu, ada juga yang seharga Rp. diskon lima puluh persen. “Tiga puluh perseratus dikali seratus lima puluh ribu sama dengan empat puluh lima ribu,” gumam Kenga sambil memperhatikan papan-papan harga yang dia lewati. Kak Kiki yang mengajarinya metode ini. Dulu Kenga sulit memahami persentase, tetapi setelah terbiasa menghitung harga beserta diskonnya, dia dapat menghitung hasilnya dengan cepat. Bahkan setelah berhasil, dia tidak dapat menghentikan kebiasaannya menghitung harga-harga produk yang didiskon. “Selamat datang, mau mencari sepatu dengan model apa?” tanya Bu Lala Koala, pemilik toko tersebut. “Saya mau mencoba sepatu yang dipajang di etalase,” jawab Kenga dengan sopan. Sepatu itu terasa pas dan cocok di kaki Kenga. Sangat nyaman waktu dicoba untuk melompat. Tapi ternyata, harga sepatu itu sangat mahal. “Harganya Rp. dengan diskon dua puluh persen. Apakah kamu tetap ingin membelinya?” tanya Kak Kiki kepada Kenga yang sedang mengagumi sepatu itu. “Dua puluh perseratus dikali dua ratus sembilan puluh ribu sama dengan lima puluh delapan ribu. Jadi, yang harus aku bayar dua ratus sembilan puluh ribu dikurangi lima puluh delapan ribu ya, Kak?” Kenga berkata pada kakaknya sambil tetap menghitung. “Betul, Kenga. Hasilnya Rp. sahut Kak Kiki. “Mmm… sepertinya aku harus menabung dulu, semoga kalau uangnya sudah cukup, sepatunya belum terjual,” kata Kenga kepada kakaknya. Kenga keluar dari toko sepatu dengan kecewa. Sesampainya di rumah dia tidak bisa berhenti berpikir, bagaimana dia bisa mendapatkan uang sebesar Rp. Akhirnya, karena tidak mendapatkan ide, Kenga bertanya kepada kakaknya. Kira-kira apa yang akan dilakukan Kenga untuk mendapatkan uang sebanyak itu demi membeli sepatu merah muda? Apakah akhirnya dia bisa memilikinya? ***BERSAMBUNG, DONG… Cerita di atas adalah salah satu dongeng yang ditulis anak saya, Estella. Bersama kawan-kawannya di komunitas menulis yang dimentori Kak Wulan Mulya Pratiwi dan Bubu Dian Nofitasari, terbitlah buku antologi dongeng matematika ini. Isinya hitung-hitungan, gitu? Males, ah! Eits, jangan salah! Namanya juga dongeng. Pasti isinya cerita-cerita yang seru dan penuh imajinasi. Tapi, dongeng yang ini mengandung tema matematika, yang tentu saja dikisahkan dengan menarik. Jadi nggak berasa, nih, sambil asyik baca dongeng, tau-tau ngerti tentang persentase, tentang pecahan, bangun ruang, sudut, dan banyak tema lainnya. Kayak begini nih, kavernya. Lucu kan, belum lagi isinya. Ada 33 cerita dengan 18 tema, yang ditulis oleh 33 anak. Tema yang dipilih kira-kira cocok untuk usia SD, bisa dari kelas satu sampai kelas enam. Tapi, karena bentuknya dongeng, materi yang biasanya diterima anak besar, bisa juga dong dinikmati anak kecil. 😍 Nah, ini sudah pre order yang kedua kalinya. Yuk, yang berminat seru-seruan baca dongeng sambil belajar matematika, bisa DM ke fb Octa Berlina Mahendrata atau IG octaberlinaocta atau fb Pustaka Gesang atau IG pustakagesang. Ditunggu sampai tanggal 14 Januari aja… Semangat belajar matematika.. ^^

cerita tentang sepatu merah